Serene Melbourne (part 1)
Entah kenapa tiba-tiba rasanya ingin mengenang masa-masa kuliah dulu di kota ini. Serene Melbourne, atau Melbourne yang asri, damai, dan tenang. Mungkin akibat lama gak pernah jalan-jalan ya? hehehe
Melbourne,
Kota yang memang terbukti nyaman untuk hidup. Dulu tak terbayang kalau saya akan mendapat kesempatan kuliah di kota ini. Awalnya, ketika saya hampir lulus SMA dan mulai merencanakan akan kuliah kemana. Pilihan yang dihadirkan oleh orangtua hanya 2, yaitu ITB atau kuliah di Perguruan Tinggi Asing (luar negeri). Ketika ikut ujian masuk perguruan tinggi, saya sebenarnya sangat bersyukur karena bisa menembus salah satu jurusan populer di UI (Universitas Indonesia). Hanya saja orangtua kemudian tetap menyarankan saya untuk lanjut ke luar saja. Pilihan jurusannya masih sama, IT, dan saya pun akhirnya memilih mendaftar di RMIT (Royal Melbourne Institute of Technology).
Lucu rasanya mengingat saat kepergian saya ke Melbourne. Saya, yang masih terbilang ‘culun‘, nekad saja berangkat ke negara asing dengan persiapan seadanya. Hanya bersama satu orang teman yang kurang lebih sama polosnya, kami pun berangkat 😁. Ibunda pun sempat panik melepas saya, mengingat beberapa saat sebelumnya bapak saya baru saja berpulang ke Rahmatullah. Syukur Alhamdulillah, ada banyak dukungan dari orang di sekeliling seperti Paman dan beberapa teman bapak. Bahkan ada salah satu kolega bapak yang memang berasal dari Australia akhirnya menyempatkan diri mampir ke rumah dan memberikan beberapa referensi kontaknya di sana. Tak lupa putra dari seorang teman ibunda yang memang sudah menetap lama di sana berbaik hati menjemput kami di bandara Tullamarine. Bahkan kami pun diizinkan menumpang tinggal di rumahnya sementara waktu. Menunggu kami mendapatkan apartemen untuk ditempati selama nanti kuliah.
Cuaca Melbourne di Akhir Tahun
Melbourne ketika kami tiba, memiliki cuaca yang terbilang nyaman. Belum terlalu dingin, tapi tidak juga panas. Cuaca di Australia memang terbalik dengan kebanyakan negara-negara di Eropa dan Amerika sana. Ketika akhir tahun, yang datang adalah musim panas, dengan suhu menembus 40 derajat Celcius lebih. Di saat ini, orang-orang Australia pun banyak yang bepergian ke negara lain, termasuk ke Bali, Indonesia. Yup, panasnya memang tak tertahankan. Suasana di sini pun jadi tampak unik. Karena penduduk yang mayoritas merayakan natal, pada setiap akhir tahun mereka tidak merasakan udara dingin ataupun salju sedikit pun. Musim dingin sendiri baru akan datang di pertengahan tahun (di sekitar bulan Juni dan juli). Salju hanya turun di beberapa daerah puncak pegunungan tenggara Australia.
Berburu Apartemen
Hari-hari selanjutnya, masih dengan modal nekad, tanpa pengalaman dan pendampingan, saya dan teman mulai berburu tempat tinggal. Semua hanya bermodalkan iklan di koran-koran lokal. Kami membuat janji dengan beberapa agen real estate di Melbourne untuk lalu melakukan visit ke apartemen yang diincar. Dan akhirnya pilihan jatuh ke sebuah apartemen kecil 2 kamar di lantai 6, Franklin Street. Berlokasi di City atau pusat kota Melbourne dan sangat dekat dengan kampus kami. Jaraknya yang hanya selisih 1 blok, membuat kami langsung tertarik pada tempatnya.
Harga sewa apartemen 2 kamar disana pada masanya berkisar di $1200-2000 per bulan. Lumayan.. lumayan mahal tentunya bagi saya hehe, dimana 1 AUD (Australian Dollar) adalah sekitar 6,500 IDR (Indonesian Rupiah) saat itu. Jangan dibandingkan dengan kurs dollar Aussie saat ini ya, karena pasti akan terasa lebih mahal lagi hehe
Mencari Perabot Gaya Mahasiswa Perantauan
Tak sabar menempati apartemen tersebut, kami pun segera bersiap pindah. Berbekal perabot seadanya, kami mulai menata tempat tinggal baru kami. Agar lebih murah, kami pun berburu kasur dan perabotan lainnya di toko-toko, seperti IKEA. Tentu di area-area yang banyak tulisan SALE hehe. Ada juga beberapa perabotan bekas yang kami dapatkan dengan harga super terjangkau. Biasanya barang-barang ini dari pelajar lain yang sudah akan pulang ke negara asal. Jangan salah, dulu demi menghemat ongkos warawiri berburu perlengkapan, kami rela loh bersusah payah di jalan. Menenteng keranjang besar atau kardus-kardus isi perabotan dengan naik kereta dan bis. Alhamdulillah, kami tidak pernah diprotes orang di jalan karena membawa tumpukan barang seperti itu dengan kendaraan umum.
Biaya Hidup di Melbourne Jauh Lebih Mahal Dibanding Jakarta
Awal tiba di Melbourne, entah mengapa otak saya selalu saja otomatis mengkonversikan mata uang Dollar Australia ke Rupiah. Sebagai anak rantau di negeri orang, tentu saya sangat memikirkan penghematan biaya hidup disana sini layaknya anak kampus pada umumnya. Saya pun sempat mencoba peruntungan kerja part-time di beberapa restoran disana demi uang tambahan.
Sebagai gambaran, dulu satu kali makan di restoran fast food seperti Hungry Jack (semacam McDonald disana), kisarannya 7-15 AUD. Sedangkan jika mengacu ke rupiah, maka harganya berkisar 70 – 150 ribu rupiah. Terbayang, kan? Sebagai mahasiswa perantauan, saya perlu merogoh kantong yang cukup dalam untuk satu kali makan fast food saja. Dan kenyataannya disana memang sulit menemukan tempat makan murah apalagi warung hehe. Sebagai alternatif, ya kami harus belanja, masak, dan membawa bekal sendiri kemana-mana. Selain itu, kami juga gak malu loh, untuk belanja makan diskon-an. Yakni makanan seperti sushi atau roti yang dijual lebih murah oleh outletnya jika sudah akan tutup di malam hari.
Alternatif Hiburan
Selain makanan, hiburan disana juga cukup mahal. Jadi saya dan teman-teman pun cukup tahu diri untuk mencari hiburan murah meriah saja. Contohnya, bertamu ke rumah teman untuk menumpang makan (eh?). Lalu menyusuri jalan-jalan seputar pusat kota dan piknik atau barbeque-an di taman-taman. Nah, keuntungannya di kota ini, rata-rata tamannya memang sangat terawat dan cantik. Ditambah lagi udara sekitar yang relatif sangat bersih dan segar. Jadi menghabiskan waktu sekedar duduk-duduk di taman sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Ketika musim panas, para pelajar pun akan lebih banyak terlihat di area taman dekat kampus atau di depan perpustakaan kota. Mereka menghabiskan waktu menunggu jam kuliah, mengerjakan tugas di taman-taman ini.
Oiya, sebagai seorang muslim yang merantau di kota ini, dulu seingat saya tempat untuk sholat memang terbatas. Bersyukur tempat tinggal saya cukup dekat dengan kampus. Hanya 5 menit jalan kaki, sehingga ketika waktu sholat tiba, saya hanya perlu pulang ke apartmen. Di RMIT sendiri sebenarnya disediakan sebuah musholla kecil yang berlokasi di rooftop salah satu gedung kampus. Namun, karena saya tidak memiliki banyak teman muslim yang bisa diajak untuk sholat, saya lebih nyaman sholat di apartemen saja.
Tips untuk anak rantau, berhubung zaman sudah semakin maju, selalu lengkapi diri dengan perlengkapan sholat seperti alas serbaguna dan lainnya. Karena akan sangat langka menemukan tempat sholat apalagi mendengar suara Azan disana. Alternatifnya, kita bisa sholat di gang-gang yang terlihat aman dan tak mengganggu orang lain.
Transportasi yang Aman dan Nyaman
Jika ingin bepergian di dalam kota, berbagai moda transportasi seperti Tram, Bus, dan Train di Melbourne sudah terintegrasi dengan baik. Tempat perhentian bis atau Tram dan stasiun kereta terjaga rapi dan bersih. Kami para pelajar, hanya perlu membeli pilihan tiket transportasi yang dibutuhkan, jika memang ada kebutuhan mobilisasi yang cukup jauh. Harga tiketnya pun cukup bervariasi. Contohnya sebuah daily tiket (tiket harian) dulu di tahun 2003, harganya berkisar 5.5 AUD. Atau kita juga bisa membeli weekly (mingguan) atau monthly ticket.
Pemakaian tiket-tiket ini kurang lebih sama dengan transportasi MRT dan TransJakarta. Sedikit perbedaan, untuk pelajar dan senior (orang tua yang berusia di atas batas tertentu), bisa mendapatkan potongan harga yang lumayan. Di luar itu, ada juga penggolongan tiket berdasarkan area yang akan dituju. Contoh, Zone 1 mencakup area city (pusat kota) dan suburb sekitarnya. Zone 2 mencakup area suburb (pinggir kota) yang lebih jauh lagi, dan seterusnya. Semakin jauh area yang dituju, semakin mahal tentu tiketnya.
Sebenarnya masih banyak lagi detail kota Melbourne di kala dulu yang ingin saya share. Tapi kita lanjut nanti ya di episode berikutnya 🙂