Melatih Anak Belajar Mengelola Emosinya Sendiri
Kebetulan kemarin anak sulung saya baru saja menyelesaikan ujian akhir semesternya. Gurunya di sekolah lalu menginfokan bahwa nanti akan ada class meeting, sebuah kegiatan tutup semester yang biasanya dimeriahkan dengan berbagai perlombaan. Beberapa lomba yang diajukan di antaranya lomba Tahfiz, Story Telling, dan Desain. Kala itu saya tertarik untuk melatih anak belajar berani berbicara di depan umum. Sehingga kemudian saya pun menyemangatinya untuk mengikuti lomba Story Telling. Ia pun menanggapinya dengan antusias.
Lalu terjadilah percakapan ini di antara kami,
“Bang, nanti daftar ikut story telling ya.” pinta saya.
“Iya Bun, Abang emang mau ikutan.” jawab Nak Sulung mantap.
“Abang bisa kan cerita tentang kisah “Qarun” tapi pakai Bahasa Inggris?” tanya saya.
“Bisa lah Bun.. Abang kan tau ceritanya.” sambut Nak Sulung semangat dan percaya diri.
Nak Sulung kebetulan memang cukup mengenal bahasa Inggris. Dan ia mempelajarinya secara otodidak ketika sempat menjadi pelanggan tetap Youtube di masa kecilnya hehe. Sehingga memang kadang cukup mengejutkan jika berbincang dengan Nak Sulung karena kosakata bahasa Inggris yang dipahaminya cukup banyak, pengucapannya pun terbilang baik, bahkan ketika dibandingkan dengan bahasa Indonesia (dan ini menjadi tugas lain untuk saya hehe). Seringkali saya disangka orang menyekolahkan anak-anak di sekolah Bilingual, alias sekolah dengan dua bahasa. Padahal modal saya hanyalah internet di rumah dan rajin mengajaknya berbincang-bincang kecil.
Maka ketika gurunya mengatakan bahwa ia akan memilih beberapa murid untuk mewakili kelas dalam beberapa lomba pilihan, ia pun dengan semangat berulang kali mengajukan diri untuk ikut lomba Story Telling. Namun sayang aspirasinya tak terdengar oleh sang guru. Ia pun tak terpilih. Nampak segera kekecewaan di wajahnya. Ia segera menutupi wajahnya dengan buku.
Di kelas daringnya, Nak Sulung memang bukan termasuk murid yang aktif bersuara atau bertanya dari pengamatan saya, sehingga wajar rasanya ketika sang guru tak memilihnya menjadi peserta lomba. Ketika mendampingi belajar di rumah pun ia bukan yang selalu antusias menanggapi interaksi kami. Saya pun tak menyalahkan gurunya, karena menilai kemampuan anak melalui interaksi beberapa jam di depan kamera bukanlah sesuatu yang mudah.
Mencari Pendekatan yang Tepat
Sekarang yang menjadi PR bagi saya adalah bagaimana membesarkan hatinya dan membuat rasa percaya dirinya tumbuh kembali. Saya kemudian segera mengajaknya berbincang sambil menjelaskan padanya bahwa tak mengapa jika tak dipilih mewakili lomba di kelas. Nanti insyaAllah di luar sana pasti masih banyak lagi kesempatan lain asalkan ia mau tetap berusaha. Namun ternyata menyelesaikan hal semacam ini tak selalu semudah membalikkan telapak tangan. Nak Sulung tetap diam seribu bahasa. Ia menutup rapat-rapat mulutnya dan terus menatap gadget yang digunakannya untuk sekolah. Semua ucapan saya seperti tak mau didengarnya.
Sempat terpikir sebuah cara instan dengan menjanjikannya sebuah hadiah guna menggantikan kesedihannya. Namun akhirnya saya urungkan mengingat hal ini bukanlah sebuah respon yang tepat hehe. Saya tak mau ia nanti tumbuh tanpa mengerti cara memahami perasaannya sendiri karena sering teralihkan dengan hiburan sesaat. Sering rasanya mendengar orang dewasa yang tak mampu mengatasi rasa kecewanya sendiri, lalu memilih mencari pelarian sesaat. Padahal masalah utamanya belum diselesaikan dengan baik. Dan memang perlu banyak usaha untuk dapat memahami karakter setiap anak dan melatih anak belajar mengelola emosinya. Bahkan mungkin kita sendiri pun masih sering bermasalah dengan hal yang satu ini. Mencari tahu dan mengenal diri sendiri, bagi saya, proses ini akan terus berjalan hingga jiwa tak lagi berada di badan hehe. Jadi, bersabarlah wahai diri.
Menemukan Solusi yang Sesuai dengan Anak
Pada akhirnya, saya pun membiarkan Nak Sulung untuk menyendiri beberapa waktu dan menerima kekecewaannya. Setelah ia mulai mau menyapa saya dan bercerita kembali, baru saya coba masukkan beberapa kata positif dan semangat untuk mengembalikan rasa optimisnya. Saya pun menawarkan beberapa pilihan aktivitas yang bisa ia segera lakukan. Saya ajak ia untuk mencoba kelas coding yang sebelumnya sempat kami diskusikan. Tak lupa mengingatkan bahwa ia punya beberapa target lain yang harus segera dipenuhinya, sehingga tak ada waktu lagi untuk terlalu lama bersedih. Alhamdulillah cara ini akhirnya ampuh untuk Nak Sulung. Melatih anak belajar mengelola emosinya memang perlu seni dan pendekatan personal.
Pendekatan seperti ini sebenarnya mulai saya terapkan setelah terinspirasi dari salah satu kisah yang dituangkan teh Kiki Barkiah. Bagaimana beliau menenangkan putranya yang sedang tantrum dengan membiarkan putranya tersebut untuk merenung di sebuah kamar hingga akhirnya ia bisa kembali tenang dan bisa kembali diajak berbicara dari hati ke hati. Memang lama waktu yang diperlukan bagi setiap anak untuk bisa memahami dan lepas dari rasa kecewa, sedih, ataupun marah dapat berbeda-beda. Dan terkadang hal ini diperumit dengan bagaimana reaksi dan juga emosi kita ketika sedang menghadapi mereka. Namun yang saya perhatikan, melatih anak belajar mengelola emosinya sendiri memang butuh kesempatan dan jiwa yang tenang. Karena sesungguhnya semua anak adalah pembelajar yang ulung.
Mbaak aku penasaran deh soal anak yang bisa berbahasa Inggris lewat YouTube. Hehe. Aku sering baca penuturan begini dari para ibu. Aku penasaran, boleh tahu kah itu yang ditonton film atau lagu atau apa?
Anakku dulu sempat kukaish YouTube tapi cuma Nussa tho’. Sekarang udah ngga di YouTube tapi di TV.
Maaf jadi salfok XD
Kalo dulu anakku seneng nonton beberapa film kartun dan channel tentang binatang, science, atau percobaan2 gitu Mbak.. Menurutku tapu tetap perlu dipilihkan juga sih tontonannya, karena kalau salah bisa kata-kata “kurang tepat” yang cepat masuk hehe.
Iya mbak, butuh proses menghadapi kenyataan yang Tak sesuai harapan. Anakku maunya menang lomba. Begitu kalah, nangis deh. Nanti ada lomba, begini lagi. Aku gak tega tapi itulah caranya agar ia makin kuat bertumbuh. Si abang hebat bisa melaluinya dan segera maju lagi ke Hal lain
huaaa emak kamu keren banget deh… memang sebagai orang tua kita juga harus sabar dan menyediakan resource energi, waktu, dan pikiran untuk membantu anak melewati banyak hal dalam hidupnya (ini peer bgt buatku jg deh). Btw, di kelas anakmu dipilih walas ya? masa di kelasku modal cepet-cepetan isi wakakak… (malah curhat)
wkwkwk keren apanya Mak.. justru ak masih harus banyak banget belajar, supaya gak salah arah waktu ketemu urusan yang begini ๐
Iya, di kelas si abang dipilihin sama walasnya ๐คญ makanya dia sedih ga dipilih..
Wah masyaallah. Aku harus banyak belajar nih. Masih suka gak sabar sama anak. Kadang anaknya tantrum, emaknya ikut tantrum nih๐
Makasih buat sharing nya ya, Mbak. Barakallahu fiik
Salut sama Mbak Ika. Sebagai orang tua seringkali memang gak tega melihat anak sedih, kecewa, menangis dan justru malah menyesatkan ya Mbak kalau dialihkan dari emosinya bukan bantu dihadapi.
huhuhu.. masih perlu banyak belajar ini Mbak, supaya kuat iman dan mental kalau lagi berurusan dengan yg begini.. Kalau gak tahan, otomatis pengennya pake cara instan ๐
Saya juga merasa masih PR ini dalam mengajari anak-anak agar bisa mengeluarkan emosi secara tepat. Soalnya agar bisa mengajarkan anak-anak tepat mengeluarkan emosi, ada baiknya kitanya sebagai orang tua sudah bisa tepat menyalurkan emosinya. Alhamdulillah, bisa bergabung di Ibu Profesional, jadilah selalu diingatkan untuk tetap di jalur yang baik dan benar.
Wah keren praktek ilmu komunikasinya mbak..
Si abang juga hebat.
Belum Nemu situasi begini sih mba .. tapi jadi masukan mba .. terimakasih mba ๐
Sama2 Mbaak ๐ค Makasi sudah berkenan mampiir… ๐
Anak-anakku masih bayi, semoga nanti ga lupa sama insight yang ada di tulisan ini ^^ karena terkadang yang berproses itu lebih membekas di hati daripada yang instant, termasuk soal manajemen emosi :’)
Anak-anaknya lihat konten yutub bahasa inggris sejak usia berapa mb? Pernah kursus juga kah?